Sayangnya, perwujudan visi ini masih jauh dari realita. Sebab, masih adanya kesenjangan gender. Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO mengenai status perempuan pada sektor pertanian, belum ada upaya substansial yang dilakukan untuk memprioritaskan peluang, kebutuhan, dan keterlibatan perempuan di bidang terkait, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah atau LMICs.
Fakta ini sejalan dengan laporan Indeks Risiko Iklim Global 2021, sebagian besar negara yang paling terdampak perubahan iklim adalah negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian agrifood.
Dampak perubahan iklim akibat cuaca ekstrem dan fluktuasi suhu Bumi berdampak besar terhadap praktik pertanian global dan hasil panennya, sehingga mengganggu musim tanam tradisional. Antara 2008 dan 2018, bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim menyebabkan kerugian sebesar US$ 49 miliar di Asia akibat penurunan produksi pertanian dan peternakan.
Kekeringan, banjir dan gelombang panas menjadi lebih sering dan intens terjadi, sehingga secara langsung menghambat pertumbuhan tanaman, menyebabkan degradasi tanah dan membahayakan sistem agrifood, termasuk pertanian, perdagangan, kewirausahaan, produksi peternakan, serta pengambilan air dan irigasi.
Kondisi tersebut membuat penduduk pedesaan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, khususnya perempuan mendominasi angkatan kerja di bidang pertanian, menanggung dampak yang tidak proporsional dari krisis iklim. (rw)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS