JAKARTA, Makansedap.id – Laporan UN Women yang dirilis dalam Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT COP 28 di Uni Emirat Arab UAE memperkirakan pada 2050, perubahan iklim bakal mendorong lebih dari 158 juta perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam jurang kemiskinan. Kondisi itu memicu kerawanan pangan terhadap lebih dari 236 juta orang di seluruh dunia.
Dalam konferensi yang digelar di Dubai Exhibition Centre, UAE, hanya 68 negara yang bersuara mendukung hubungan intrinsik antara kesetaraan gender dan transisi iklim yang adil.
Saat ini, perempuan adalah kelompok yang paling rentan terdampak krisis iklim. Laporan terbaru dari Dana Kependudukan PBB atau UNFPA menyebutkan, 14 negara yang paling terdampak oleh kerusakan iklim di cenderung memiliki populasi perempuan dan anak perempuan yang rentan terhadap risiko meninggal saat melahirkan, menikah dini, mengalami kekerasan berbasis gender, atau menjadi pengungsi dan tuna wisma akibat bencana.
Dalam keterangan resmi yang diterima Makansedap.id, Selasa, 14 Mei 2024, untuk memitigasi dan beradaptasi dengan fakta di atas, Transisi Berbasis Responsif Gender dan Kemitraan Aksi Iklim secara tegas berkomitmen mengupayakan transisi iklim yang responsif terhadap gender.
Para mitra terkait telah berkomitmen untuk meningkatkan analisis gender dari pendanaan perubahan iklim, mendukung pengumpulan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, dan meningkatkan kesempatan kerja yang setara.
Sayangnya, perwujudan visi ini masih jauh dari realita. Sebab, masih adanya kesenjangan gender. Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO mengenai status perempuan pada sektor pertanian, belum ada upaya substansial yang dilakukan untuk memprioritaskan peluang, kebutuhan, dan keterlibatan perempuan di bidang terkait, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah atau LMICs.
Fakta ini sejalan dengan laporan Indeks Risiko Iklim Global 2021, sebagian besar negara yang paling terdampak perubahan iklim adalah negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Perekonomiannya sangat bergantung pada sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian agrifood.
Dampak perubahan iklim akibat cuaca ekstrem dan fluktuasi suhu Bumi berdampak besar terhadap praktik pertanian global dan hasil panennya, sehingga mengganggu musim tanam tradisional. Antara 2008 dan 2018, bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim menyebabkan kerugian sebesar US$ 49 miliar di Asia akibat penurunan produksi pertanian dan peternakan.
Kekeringan, banjir dan gelombang panas menjadi lebih sering dan intens terjadi, sehingga secara langsung menghambat pertumbuhan tanaman, menyebabkan degradasi tanah dan membahayakan sistem agrifood, termasuk pertanian, perdagangan, kewirausahaan, produksi peternakan, serta pengambilan air dan irigasi.
Kondisi tersebut membuat penduduk pedesaan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, khususnya perempuan mendominasi angkatan kerja di bidang pertanian, menanggung dampak yang tidak proporsional dari krisis iklim. (rw)
Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS