Sementara itu, mengenai masalah keterjangkauan, lanjut Rahmad, tingginya harga pupuk bakal berdampak negatif ke produksi padi. Berdasarkan kalkulasinya, setiap kenaikan harga pupuk sebesar Rp 1.000 per kg mengakibatkan penurunan konsumsi urea sebesar 13% dan 14% pupuk NPK.

Selanjutnya, penurunan konsumsi pupuk tersebut bakal berdampak ke penurunan produktivitas tanaman pangan hingga 0,5 ton per hektar, serta penurunan pendapatan petani sekitar Rp 3,1 juta per hektar.

“Nah, affordability ini datangnya dari mana? Tentu satu, kita selalu menantang diri kita sendiri, apakah Pupuk Indonesia bisa memproduksi pupuk dengan lebih efisien, dengan lebih kompetitif,” ujar Rahmad Pribadi.

Untuk menambah produksi, perusahaan menempuh strategi pembangunan pabrik pupuk baru maupun revitalisasi pabrik lama. Selain itu, perusahaan meningkatkan daya saing pupuk, serta meminimalisir regulatory cost.

Rahmad Pribadi menambahkan keterjangkauan harga pupuk tergantung pula pada harga bahan baku terutama gas. Dalam hal ini, dia memberikan apresiasi terhadap pemerintah  yang telah menerapkan harga gas murah US$6 per MMBTU.

Di atas itu semua, Rahmad Pribadi menyatakan ikhtiar menuju swasembada pangan tidak bisa hanya dari peran satu institusi. Dia mendorong setiap kementerian/lembaga terkait untuk bekerja sama demi mewujudkan hal tersebut.

“Ini saatnya gotong royong untuk mencapai swasembada pangan, tidak bisa satu pihak berdiri sendiri, semua harus bertemu,” ujar Rahmad Pribadi. (rw)

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS