Seperti yang diuraikan oleh de Ortúzar, Soratti, & Velez (1997), persetujuan yang diinformasikan (informed consent) sangat penting dalam kasus donor hidup. Donor harus sepenuhnya menyadari risiko yang terkait dengan prosedur tersebut dan membuat keputusan secara sukarela tanpa paksaan. Dalam kasus ini, kebijakan kesehatan yang kuat diperlukan untuk melindungi hak-hak donor dan memastikan keputusan mereka benar-benar dihormati.
Di berbagai negara berkembang, seperti yang diuraikan oleh Caplan (2014), komersialisasi organ menjadi masalah kontroversial. Praktik jual beli organ sering kali dilakukan karena ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan miskin. Orang miskin menjual organ mereka untuk mengatasi kemiskinan.
WHO secara tegas melarang komersialisasi organ karena dianggap melanggar martabat manusia dan menyebabkan eksploitasi terhadap orang-orang yang rentan.
Dari perspektif etika, Gereja Katolik dan pandangan moral Islam menolak keras komersialisasi organ. Priambodo (2022) menegaskan, organ seharusnya didonasikan dengan niat amal atau charity, bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Hal ini selaras dengan ajaran yang mendorong amal sebagai bentuk kasih sayang antarsesama manusia.
Kebijakan donasi organ secara umum terbagi menjadi dua sistem opt-in (sistem pendaftaran) dan opt-out (persetujuan otomatis). Pada sistem opt-in, individu harus mendaftarkan diri sebagai pendonor, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat dan Kanada. Di sisi lain, negara-negara seperti Spanyol dan Prancis menerapkan sistem opt-out. Setiap orang dianggap menyetujui donasi organ, kecuali mereka secara eksplisit menyatakan keberatan.