Menurut Al-Bar dan Chamsi-Pasha (2015), sistem opt-out memiliki kelebihan dalam hal meningkatkan jumlah donor, tetapi menimbulkan perdebatan mengenai hak individu untuk mengontrol tubuh mereka sendiri. Di sisi lain, Caplan (2014) mengusulkan, pendekatan presumed consent atau persetujuan otomatis sejalan dengan prinsip amal, selama tetap memberikan pilihan bagi individu yang ingin menolak donasi organ.

Antara Etika dan Keyakinan

Pandangan moral dan keagamaan memainkan peran penting dalam membentuk perspektif individu mengenai donasi organ. Di Tiongkok, seperti dijelaskan oleh Zhang & Zang (2021), keengganan untuk mendonorkan organ sering kali dikaitkan dengan ajaran Konfusianisme yang menekankan integritas tubuh setelah kematian.

Namun, argumen yang diajukan oleh Zhang & Zang membantah pandangan ini dan menyatakan Konfusianisme sebenarnya mendukung donasi organ sebagai tindakan amal atau ren (kemanusiaan). Hal ini menunjukkan pandangan budaya dan keagamaan dapat berubah seiring dengan perkembangan pemahaman etis dalam masyarakat.

Di dunia Islam, banyak fatwa yang mendukung donasi organ, baik dari pendonor hidup maupun yang telah meninggal. Al-Bar dan Chamsi-Pasha (2015) menyatakan, Islam memandang donasi organ sebagai tindakan yang mulia, selama prosedur tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tidak melibatkan perdagangan organ. Prinsip kesucian tubuh tetap dihormati, dan pengambilan organ dari mayat diperbolehkan selama bertujuan untuk menyelamatkan nyawa.

Meningkatkan ketersediaan organ untuk transplantasi memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah xenotransplantasi, yaitu penggunaan organ dari hewan untuk manusia.

Meskipun menghadirkan tantangan etis dan teknis, seperti yang dijelaskan oleh de Ortúzar et al. (1997), xenotransplantasi memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada organ manusia. Akan tetapi, praktik ini memerlukan pengawasan ketat dan kebijakan yang memastikan standar kesejahteraan hewan dipatuhi dan risiko terhadap pasien manusia dapat dikendalikan.

Sebagai kesimpulan, transplantasi organ adalah salah satu pencapaian medis terbesar yang menyelamatkan banyak nyawa. Namun, keberhasilan ini datang dengan berbagai tantangan etika yang memerlukan pertimbangan serius. Dengan mematuhi prinsip-prinsip bioetika, menghormati nilai-nilai budaya dan agama, serta menerapkan kebijakan yang adil, transplantasi organ dapat berfungsi sebagai bentuk kasih terhadap sesama dan menginspirasi pengembangan teknologi medis yang lebih maju dan etis.

Bioetika menawarkan kerangka kerja moral yang penting bagi masa depan transplantasi organ. Melalui pendidikan, kebijakan yang bertanggung jawab, dan pemahaman lintas budaya, dunia medis dapat mendorong praktek transplantasi organ yang lebih etis dan berkelanjutan.

*) Penulis adalah Dokter Dito Anurogo MSc, PhD (Cand.), Kandidat Doktor di IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University (TMU), Taiwan, dosen tetap di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar Indonesia.

Baca Berita Lainnya di GOOGLE NEWS