Setiap hari, mereka berangkat subuh, menyebar ke berbagai wilayah di Jabodetabek, Pasar Minggu, Tebet, Pamulang, hingga Bintaro.
Aris sendiri menempuh rute yang tak singkat. Dia menyusuri rute Tambun, Kalimalang, Cawang, Pancoran, Blok M, Gandaria, Arteri Pondok Indah, Tanah Kusir – Pesanggrahan. Semua dilakukan demi semangkuk bubur yang hangat dan mengenyangkan, dan tentu, demi masa depan keluarganya.
Kakaknya, Agus, juga berjualan bubur ayam, mangkal di kawasan Deplu, Pondok Aren. Kakak-beradik ini meneruskan jejak sang ayah, yang dahulu mengontrak di daerah Pesanggrahan sejak tahun 1980, menjajakan bubur ayam dari pagi hingga siang.
Aris berdagang enam hari dalam seminggu, hanya libur di hari Jumat. Dalam sehari, setelah dipotong biaya operasional dan belanja bahan baku, ia bisa membawa pulang keuntungan bersih sekitar Rp 500 ribu.
BACA JUGA:Discover Nusantara Memperkuat Identitas Nasional dan Mendorong Ekonomi Lokal
Namun, yang lebih dari sekadar nominal adalah harapan yang ia dan istrinya, Devita Sari, 30 tahun, sematkan setiap hari untuk masa depan dua buah hati mereka, Uliyah Rutbah Sania, 5 tahun, dan Safina Tinajah, 2 bulan.
Aris Munandar, 36 tahun, sudah 16 tahun menekuni profesi sebagai tukang bubur ayam.-Makansedap.id-Rio Winto
“Kami cuma ingin anak-anak kami bisa sekolah tinggi, sampai sarjana. Enggak muluk-muluk, yang penting mereka bisa punya masa depan yang lebih baik dari kami,” ucap Aris dengan mata berkaca-kaca.
Bagi Aris, setiap tetes keringat yang jatuh di jalanan pada pagi hari, setiap sendok bubur yang ia racik dengan hati, adalah bentuk cinta yang nyata, cinta untuk keluarga, cinta untuk tradisi, dan cinta untuk hidup yang terus dijalani dengan tabah.