Nindityo Adipurnomo, Membongkar Simbol, Merakit Makna

Nindityo Adipurnomo, Membongkar Simbol, Merakit Makna

Nindityo Adipurnomo-Makansedap.id-Tokobisnis.com

JAKARTA, Makansedap.id - Selama lebih dari tiga dekade, Nindityo Adipurnomo telah menjadi suara penting dalam seni rupa kontemporer Indonesia. 

Nindityo Adipurnomo dikenal atas eksplorasinya terhadap identitas budaya Jawa, dengan fokus pada simbol-simbol tradisional dan posisinya dalam masyarakat modern. 

Karyanya telah dipamerkan baik di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Singapore Biennale, Asia Pacific Triennial, serta berbagai galeri dan museum di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.

Melalui praktiknya, Nindityo Adipurnomo mengajak pengunjung untuk meninjau ulang cara kita memandang simbol budaya dan mempertanyakan relevansinya dalam lanskap sosial masa kini.

BACA JUGA:Festival Film Wartawan 2025, Menghidupkan Warisan Wina Armada Sukardi 

Sebagai Co Founder Cemeti Institute for Art and Society dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), kontribusi Nindityo Adipurnomo tidak hanya melalui karya, tetapi juga lewat pengembangan ekosistem seni yang terbuka terhadap eksperimen dan regenerasi. 

Bagi Nindityo Adipurnomo, kegelisahan adalah hal yang membuat karyanya menjadi aktif dan dinamis.

“Secara umum kegelisahan itu tidak selalu negatif seperti yang dipahami orang umum. Bagi saya, gelisah berarti keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, untuk diri sendiri dan orang lain,” kata Nindityo Adipurnomo dalam keterangan resmi yang dibaca Makansedap.id, Kamis, 10 Juli 2025.

Menerima rasa ketidakpastian inilah yang memicu pertanyaan terus-menerus, menghubungkan karyanya dengan keterlibatan sosial, serta menolak identitas tunggal dan tetap. Hal ini menjadikan praktik seninya sebagai sebuah pencarian seumur hidup.

BACA JUGA:Erre & Urrechu, Sensasi Gairah dan Elemen Api yang Menggugah Panca Indera

Kini, Nindityo Adipurnomo, Co Founder Cemeti, tampil Bersama seniman otodidak asal Tuban, Imam Sucahyo Staging Desire, pameran duo yang berlangsung di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, 14 Juni–27 Juli 2025.

Meskipun material dan bentuk mereka berbeda, karya Nindityo Adipurnomo yang terstruktur dan terampil kontras dengan ekspresi mentah Imam Sucahyo, namun karya mereka bersinggungan dalam kepedulian lingkungan, budaya, dan simbolik yang sama. 

Metodologi kreatif mereka juga beririsan. Nindityo Adipurnomo memandang inspirasi sebagai dialog antara pembongkaran dan penciptaan ulang. Sementara itu, Imam Sucahyo memproses impresi mentah dari realitas sehari-hari, manusia, alam, dan ritmenya untuk diolah melalui memori dan penemuan yang intuitif.