Etimologi dan Filosofi di Balik Nama dan Bentuk Lumpia

Etimologi dan Filosofi di Balik Nama dan Bentuk Lumpia

Lumpia Semarang lebih dari sekadar makanan. Kuliner itu menjadi sebuah artefak hidup yang menceritakan sejarah, akulturasi, dan harmoni.-Makansedap.id-YouTube

JAKARTA, Makansedap.id - Nama lumpia sendiri berasal dari dialek Hokkian, yaitu gabungan dari kata ‘lun’ atau ‘lum’, yang berarti lembut atau lunak. Dan. ‘pia’ yang berarti kue.

Makna ‘kue lembut’ sangat relevan dengan resep aslinya yang tidak digoreng. Seiring berjalannya waktu dan setelah akulturasi dengan budaya Jawa, lumpia mulai disajikan dalam versi goreng yang renyah.

Selain namanya, bentuk lumpia yang lonjong dan warnanya yang keemasan saat digoreng melambangkan harapan akan kemakmuran dan kekayaan. 

Seperti dilansir Antaranews.com yang dibaca Makansedap.id, Selasa, 2 September 2025, filosofi itu berakar kuat dalam tradisi etnis Tionghoa, lumpia sering disajikan saat perayaan Tahun Baru Imlek sebagai simbol keberuntungan. 

BACA JUGA:Kisah Cinta di Olympia Park yang Melahirkan Kuliner Ikonis

Seiring dengan penerimaan lumpia oleh masyarakat yang lebih luas, filosofi makanan itu juga ikut meluas. Makna kemakmuran yang diwakilinya tidak lagi terbatas pada satu etnis, melainkan menjadi harapan universal yang bisa diresapi dan dihargai oleh semua orang di Semarang.

Dinamika Sosial dan Politik

Lumpia tidak hanya berperan sebagai hidangan lezat, tapi, juga sebagai alat pembauran sosial. Cita rasanya yang merakyat dan dapat dinikmati oleh berbagai kalangan telah menjadi perantara yang mempererat hubungan antara etnis Tionghoa peranakan dengan penduduk pribumi.

Makanan itu membaurkan adat istiadat dan budaya, menciptakan sebuah harmoni yang dirasakan melalui indra perasa

Pada masa pemerintahan Orde Baru, ketika kebijakan politik menekan ekspresi budaya Tionghoa, keberadaan lumpia tetap tidak terpengaruh. Sementara perayaan atau pertunjukan budaya lain, seperti barongsai, sempat dilarang, lumpia terus berkembang dan dinikmati secara luas. Fenomena ini dapat dilihat sebagai manifestasi soft power (diplomasi) budaya.

BACA JUGA:Mengenal Dua Jenis Lumpia, Basah dan Goreng

Lumpia Semarang lebih dari sekadar makanan. Kuliner itu menjadi sebuah artefak hidup yang menceritakan sejarah, akulturasi, dan harmoni. Berawal dari sebuah kisah cinta yang menyatukan dua kebudayaan, lumpia berhasil berevolusi menjadi hidangan yang diterima secara luas oleh masyarakat.

Perkembangan resep, dari bahan autentik hingga varian modern, serta inovasi dalam pengemasan dan logistik, menunjukkan kemampuan lumpia untuk beradaptasi dengan dinamika zaman tanpa kehilangan identitas aslinya.

Pengakuan UNESCO pada 2014 menggarisbawahi peran penting lumpia Semarang sebagai warisan budaya tak benda dan daya tarik pariwisata utama.