Kisah Cinta di Olympia Park yang Melahirkan Kuliner Ikonis

Kisah Cinta di Olympia Park yang Melahirkan Kuliner Ikonis

Sejarah lumpia Semarang dimulai pada Abad Ke-19. Berawal dari sebuah kisah cinta yang menjadi fondasi kuliner lintas budaya. -Makansedap.id-PT Sasa Inti

JAKARTA, Makansedap.id - Sejarah lumpia Semarang dimulai pada Abad Ke-19. Berawal dari sebuah kisah cinta yang menjadi fondasi kuliner lintas budaya

Cerita itu berpusat pada perjumpaan seorang pedagang asal Fujian, China, bernama Tjoa Thay Joe, dengan Wasih, seorang pedagang pribumi Jawa.

Tjoa Thay Joe menjajakan hidangan khas China berupa gulungan berisi rebung dan daging babi. Sementara, Wasih menjual makanan serupa dengan cita rasa yang lebih manis serta memiliki isian kentang dan udang.

Pertemuan mereka terjadi di Olympia Park, sebuah pasar malam Belanda yang menjadi pusat keramaian dan perdagangan di Semarang kala itu. Alih-alih bersaing, kedua pedagang itu justru menjalin hubungan asmara yang berujung pada pernikahan. 

BACA JUGA:Mengenal Dua Jenis Lumpia, Basah dan Goreng

Setelah menikah, mereka menggabungkan bisnis dan resep mereka, menciptakan sebuah hidangan baru yang mewakili perpaduan budaya China dan Jawa.

Perubahan paling signifikan yang mereka lakukan adalah menghilangkan isian daging babi dan menggantinya dengan ayam atau udang, sambil tetap mempertahankan rebung sebagai isian utama. 

Keputusan itu bukan hanya sekadar adaptasi kuliner, melainkan langkah strategis yang didorong oleh konteks sosial dan agama.

Dengan menghilangkan bahan daging babi, hidangan itu menjadi dapat diterima secara luas oleh masyarakat pribumi Jawa yang mayoritas beragama Islam.

BACA JUGA:Lumpia, Simbol Kuliner Ikonik Kota Semarang

Perubahan itu mengubah lumpia dari makanan etnis menjadi hidangan ‘merakyat’ yang dimiliki dan dinikmati oleh semua kalangan, menjembatani kesenjangan budaya dan agama. 

Hubungan romantis Tjoa Thay Joe dan Wasih tidak hanya melahirkan sebuah resep baru, tapi, juga membuka jalan bagi lumpia untuk beradaptasi, memperluas pasarnya, dan menjadi simbol nyata dari harmoni dan integrasi budaya di Semarang.

Popularitas makanan itu mulai meningkat ketika Jakarta menjadi tuan rumah Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pada 1963. 

Dalam event Ganefo, banyak pedagang menjajakan lumpia Semarang, memperkenalkan cita rasanya kepada para peserta dan pengunjung dari berbagai negara.